KH. Abdul Aziz Manshur dilahirkan di Paculgowang Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Jawa Timur, tahun 1942 M. Sewaktu Jepang mulai berkuasa di Indonesia.
Sejak usia dini beliau telah dididik oleh kedua orang tuanya. Pada usia 4 tahun beliau diajar orang tuanya mengenal fasolatan, thoharoh (sesuci) dan menghafal juz Amma langsung oleh Ibu beliau. Memasuki usia 6 tahun beliau mulai ikut sekolah, kemudian dilanjutkan dengan belajar Al-Quran. Dalam mengkaji Al-Quran, hanya butuh waktu 1 tahun bagi beliau untuk mengkhatamkan Al-Quran, dan mengadakan tasykuran.
Memasuki usia 7 tahun, KH. Abdul Aziz Manshur mulai masuk sekolah rakyat (SR) yang kedudukannya setingkat dengan Sekolah Dasar (sekarang) berada di desa Bandung. Pada kelas satu beliau diajar oleh seorang guru bernama Suroto, dengan tetap mempelajari Al-Quran dan Al-Barzanji, Diba’ sekaligus dengan makna oleh orang tua beliau.
Di sekolah rakyat ini, beliau berhasil menguasai baca, tulis, berhitung, sejarah, berbahasa Indonesia, dan beberapa keterampilan, seperti; membuat kaset, kipas, dan lain-lain. Beliau terpaksa masuk sekolah rakyat ini karena memamng sekolah yang ada pada waktu itu hanya sekolah rakyat. Setengah tahun lamanya sekolah di SR beliau pindah ke Madrasah Ibtida’iyyah Paculgowang yang sempat vakum beberapa tahun akibat agresi Belanda ke II.
Sejak kecil KH. Aziz Manshur selalu diajarkan sholat dan puasa oleh kedua orang tuanya dengan pengawasan yang ketat. Meskipun demikian, masa kecil beliau juga tidak luput dari permainan, beberapa permainan yang beliau gemari di antaranya sepakbola, kasti, obak sodor, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam permainan yang paling digemari adalah perang-perangan, di dalam permainan perang-perangan itu beliau mengatur dan mempin peperangan. Pada waktu itu KH> Aziz Manshur belum mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin, yang ada dalam angan-angan dan cita-cita beliau adalah alangkah bahagianya bilamana hidup di tengah masyrakat bisa memberi pertolongan dan membahagiakan orang lain.
Ajaran dari orang tua yang melekat di sanubari di samping hal ikhwal yang dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari adalah berupa kepingan-kepingan dawuh (mauidloh) yang disampaikan dengan senda gurau saat berkumpul dengan keluarga. Kitab-kitab yang sering disampaikan sebagai landasan yang kemudian melekat di sanubari adalah Sullam Safinah, Bidayatul Hidayah dan Aqidatul Awam.
Orang tuanya selalu mengajarkan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak malas, hal tersebut dilakukan orang tua beliau dengan cara memberikan dengan suatu perjanjian. Contoh beliau senang dengan kelinci atau kambing, maka orang tua beliau membelikan semua itu dengan janji agar beliau mau merawat sendiri, mencarikan makan, merawat kandang dan membersihkannya. Begitu juga ketika beliau menginginkan baju, kedua orang tua pun membelikan dengan janji untuk merawat, mencuci, melipat sampai menyimpannya di almari sendiri.
Setelah pindah di MI paculgowang maka perhatian beliau terfokus pada pelajaran, dan pelajaran agamalah yang menjadi idaman beliau, alangkah bahagia seandainya dapat membaca kitab-kitab tanpa makna seperti orang tua dan kakek, nenek beliau. Begitu juga, alangkah bahagianya andaikata bisa mengajarkan ilmu agama kepada orang lain. Orang tua beliau juga sering menceritakan keberhasilan Mbah KH. Abdul Karim Lirboyo.
Setelah dua setengah tahun di Tebuireng, ada pergantian kurikulum dengan tujuh jam pelajaran yang terdiri dari empat matapelajaran umum dan tiga pelajaran agama. Ini menjadi pertimbangan khusus karena saat itu beliau sedang fokus dengan ilmu agama, kemudian memutuskan untuk pindah. KH. Abdul Aziz Manshur kemudian berpindah ke Sarang, Watu Congol, Banten, Cirebon. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya beliau memutuskan untuk menggapai cita-citanya di Pondok Pesantren Lirboyo. Yang mana Lirboyo adalah pondok yang fokus untuk mempelajari ilmu alat (nahwu & sorof). Dan saat bulan puasa tiba, beliau tabarrukan di pondok pesantren lain.
Selama menimba ilmu di Lirboyo, KH. Abdul Aziz Manshur termasuk santri yang berprestasi, sehingga Almaghfurlah KH. Marzuki Dahlan (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo) mengambil beliau sebagai menantu. Setelah melangsungkan pernikahan, tak lama kemudian KH. Abdul Aziz Manshur menggantikan ayahandanya yang telah kembali kerahmatullah sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in.
KH. Abdul Aziz Manshur dengan penuh tanggungjawab memikul amanah dari ayahandanya, mengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyiin dengan sepenuh hati, percaya diri, dan rasa ikhlas. Pondokpun semakin maju dan berkembang, meski era globalisasi telah menggeser semua “barang lama” dan menyebabkan pergeseran nilai-nilai kehidupan di tengah masyarakat, tetapi beliau tetap mempertahankan sistem kesalafan yang murni dan konsisten. (memori '97)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar