Jumat, 02 September 2016

Biografi,Karomah dan Kisah Teladan KH Mubasyir Mundzir

KH. Mundzir adalah pengasuh pondok pesantren “Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari” Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur.
Posted By : Harun Arrosyid 02 September 2016
Sebagai Kyai kharismatik atau di segani oleh masyarakat, KH Mundzir mempunyai karomah antara lain :
1.       Si kecil yang perkasa
Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.

2.       Bisa terbang
Polah tingkah yang tidak wajar terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman dekat beliau yang saat nyantri di pesantren semelo perak jombang, yaitu seorang santri yang sekarang tinggal di dusun Sido Warek Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam-makam para wali, sebagai teman dekat santri tadi di ajak ziarah ke pesarean Mojo Agung, Jombang. Seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan berjalan kaki. Namun kiranya ada yang luar biasa dalam perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada teman akrabnya tersebut untuk tidak tolah toleh dan selalu melihat punggung beliau selama perjalanan nanti. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, teman Kyai Mundzir merasa seakan akan melewati suatu kawasan yang banyak di tumbuhi rerumputan yang tinggi dan lebat, kang santri pun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu. saking penasarannya, sambil berjalan kang santri tadi sesekali memetik beberapa helai daun atau rumput, dan ia sempat memasukan daun itu ke dalam saku bajunya. Perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainya selesai, Kyai Mundzir mengajak pulang seperti biasanya. Setelah sampai di kamar santri tadi segera mengambil daun yang ada dalam sakunya untuk dilihat. Namun alangkah terkejutnya kang santri tadi, karena ternyata bukan rumput yang di temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi, sambil menerawang, santri tersebut bergumam “lha aku iki la’ diajak gus mundzir lewat duwure wit klopo”.
3.       Memanggil pucuk pohon bambu
Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan riyadhoh, dan sebagaimana biasa, hari itupun diisi dengan terus menerus sholat. Kebetulan di tempat itu, ada seorang santri yang bisa di bilang nakal, dan ia mengetahui bagaimana disiplinya Kyai Mundzir menjaga kebersihan. Di saat beliau sedang menunaikan sholat, santri tadi sengaja berniat ngerjai/njarag, dengan cara pakaian beliau yang di jemur di depan mushola sebagai lap. Hal itu ternyata di ketahui oleh beliau, karena itu setelah salam, beliau langsung mencuci pakaian tersebut dan kembali menjemurnya lagi, melihat hal itu, santri tadi ternyata mengulangi lagi perbuatan tersebut, lagi-lagi beliau tahu, dan mencuci serta menjemurnya lagi, dan selanjutnya kembali sholat. Namun saking nakalnya santri tadi belum puas, lalu mengulanginya sekali lagi. Saat itulah, setelah sholat, beliau mencuci pakaian tersebut, namun kali ini di jemur dengan cara yang ”nyleneh”, bagaimana tidak, usai mencuci pakaian tadi, beliau melambaikan tangan seakan memanggil pucuk pohon bambu yang berada di depan mushola, dan anehnya pula bambu itu seolah paham, karena tiba-tiba bambu itu merunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau di titipkan pada pucuknya.
4.       Mengetahui barang yang tidak halal
Pada saat berdirinya sebuah pesantren dan jumlah santrinya masih sedikit, hubungan antara pengasuh dan santri sangat dekat dan akrab. Terlebih lagi hubungan antar santri, sehingga yang namanya masak bersama adalah suatu kebiasaan yang paling digemari. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ma’unah sari tempo dulu, suatu ketika dalam acara masak bersama, kyai mundzir di aturi untuk kerso dahar/makan bersama, masakan “karya” bersama yang di komandani kang sarwan, saat itu di lengkapi dengan lauk ikan lele, sungguh sebuah menu yang cukup istimewa bagi santri tempo dulu, pada saat makan bersama itu, tampak para santri menikmati masakan itu dengan nikmatnya, namun lain halnya dengan yang di rasakan kyai mundzir, karena beliau merasakan ikan lele tersebut sangat pahit sekali. Kemudian kyai mundzir bertanya kepada kang santri “kok rasanya begini, kenapa? Pasti ada yang gak beres!” dawuh kyai mundzir. Setelah diusut ternyata ikan lele yang dimakan tadi berasal dari kubangan yang airnya mengalir dari rumah tetangga dan kemungkinan ikan subhat itu berasal dari sana pula.
5.       Mengetahui apa yang di kerjakan santrinya
Lain lagi cerita pada masa awal berdirinya pesantren ma’unah sari. Kegiatan yang ditekankan bukanlah mengaji kitab atau pelajaran-pelajaran yang bersifat teori, akan tetapi amalan amalan sholat sunnah dan wiridan. Sementara itu aturan pondok pun belum tersusun secara rapi, pokoknya “opo dawuhe yai” itulah aturan. Sehingga keluyuran malam termasuk agenda harian para santri awal, salah satunya adalah seorang santri dari nganjuk. Si santri ini, saat itu tergolong santri yang “sedengan” selain senang dengan keluyuran malam, terkadang juga masih di tambah dengan acara “njaraki” anak perempuan atau melakukan hal-hal lain khas anak muda dalam “tuornya” yang terkadang tidak cocok dengan etika santri, istilahnya sembrono dan biasanya setelah larut malam rombongan santri ndableg itu melakukan agenda harianya dan seperti biasanya sampai larut malam. Anehnya ketika mereka kembali ke pondok dengan diam-diam, kyai mundzir sudah mapak di samping masjid seakan akan sudah tahu apa yang baru saja mereka lakukan. Sambil terus memperhatikan santri-santrinya yang habis keluyuran itu, kyai mundzir dawuh “ayo kang wudhu” kang santripun menjawab “ inggih yai” dengan rasa takut dan heran kepada kyainya itu. kemudian dengan bijaksananya, beliau memerintahkan kepada santrinya yang terkenal dengan sebutan baduine bandar kidul beserta rombonganya itu untuk sholat sunnah dan membaca istighfar sampai ribuan kali, bahkan terkadang tiada batasan.hingga nanti kalau di suruh berhenti barulah selesai hukumanya.
6.       Tahu kalo seseorang berhadas
Pada saat peringatan haul kh.r. fattah mangun sari tulungagung, pernah terjadi peristiwa menarik yang bisa kita jadikan pelajaran, ceritanya begini, pada saat prosesi sedang berlangsung, saat itu hadirin sedang membaca diba’ bersama-sama, sedang kyai mundzir berada di makamnya mbah fattah. Namun ketika pembacaan dziba’ baru berjalan separo beliau mendatangi majlis tersebut sambil dawuh dawuh “wis,wis mandeg disik ojo di teruske’, setelah jamaah berhenti beliau kembali lagi ke pesarean. Hadirin saling bertanya, ada apa kok kyai mundzir sampai menyuruh pembacaan dziba’ di hentikan? Akhirnya ada seorang kyai yang mengusulkan agar semua jamaah yang ikut majlis dziba’an itu mengambil wudhu dan memulai dziba’an dari awal lagi dengan niat sungguh-sungguh dan ikhlas, setelah usul itu dilaksanakan, kira-kira pembacaan dziba’ baru sampai pertengahan beliau mendatangi majlis itu lagi, sambil dawuh “lha, yo ngono, sing apik, sing tenanan”.
Suatu ketika lurah pondok yang bernama ibnu alwan mengumandangkan adzan. Tiba-tiba beliau mendatanginya seraya menegur, “ kamu belum wudhu ya?” spontan ibnu alwan terkejut dan gugup sambil menjawab, “sampun kyai!” “kamu tidak perlu bohong” begitu beliau kembali menegur. Dan ibnu alwan pun tersipu malu, karena kenyataanya memang belum berwudhu, dan di wanti- wanti untuk tidak mengulanginya.
Di saat yang lain, ada seorang pekerja yang sedang mengecat masjid ma’unah sari. Tiba-tiba beliau mendatanginya, lalu mengusir dan menggantinyadengan orang lain. Usut punya usut, ketika mengecat tadi, si pekerja tersebut ternyata dalam keadaan hadats besar dan belum mandi jinabat. Entah dengan bagaimana beliau mengetahuinya.
7.       Tahu jodoh seseorang 
Ini peristiwa yang terjadi pada dua orang keponakan beliau yang di jadikan putra angkat beliau, yakni H. Agus thoha yasin dan agus kawakib. Tatkala beliau masih muda belia, dan tentu saja belum menikah, beliau mengemukakan kepada salah seorang famili perempuan beliau, yakni ibu nyai rahma dahlan yang saat itu masih gadis (ibu nyai pesantren darul hikam kencong baron nganjuk) bahwa kelak beliau akan berbesanan dengan ibu nyai rahma. Dan hal itu memang menjadi kenyataan, setelah bertahun-tahun kemudian, putri ibu nyai rahmah tersebut yang bernama ning khoiriyah, akhirnya menikah dengan putra angkat beliau, agus kawakib.
 
Demikian pula dengan H. Agus thoha yasin. Lama sebelum gus thoha menikah, beliau telah mengungkapkan bahwa jodoh gus thoha ada di jogjakarta. Ucapan beliau lalu di pertegas oleh KH. Pandanaran yang juga kakak ipar ibu nyai zuhriyah, bahwa jodoh agus thoha kiranya adalah putri KH. Nawawi abdul aziz, pengasuh pesantren An-nur ngrukem jogjakarta, dan itu terbukti.


KISAH TELADAN MBAH KYAI M.MUBASYIR MUNDZIR DAN IBU NYAI ZUHRIYYAH MUNAWWIR 

Hari itu, tepatnya pada hari Jum'at ( akhir bulan Juni 1973 ), suasana komplek pesantren Al-Munawwir sedikit berbeda dari hari biasanya, hening dan khidmat. Pada hari itu berlangsunglah pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti Kyai Munawwir dengan suasana yang sangat sederhana, dan mahar uang beliau waktu itu sebesar Rp. 10.000. Dimana yang bertindak selaku Wali adalah KH. Ahmad Munawwir ( kakak dari mempelai putri ), adapun yang meng-aqad-i adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syai'an dan Gus Thoha. Untuk kemudian Gus Thoha juga yang bertindak sebagai pembaca doa.
Saat pernikahan itu, beliau berusia 55 tahun, dan Ibu Nyai Zuhriyyah berusia 35 tahun, menurut hitungan kalender Hijriyyah. Sebuah usia yang teramat matang dan dewasa untuk membina rumah tangga.
Pada masa-masa awal beliau berdua berumah tangga, saat itu Kyai Mundzir belum mempunyai rumah / ndalem, dan dengan penuh kesetiaan dan pengertian serta pengabdian, Ibu Nyai pun menerima dengan ikhlas, dan bahkan beliau menerima ketika dititipkan ke tetangga apabila Kyai Mundzir sedang ada urusan diluar, tapi begitupun Ibu Nyai Zuhriyyah sedikitpun tidak mengeluh dan sama sekali tidak menyesalkan sikap Kyai Mundzir kepadanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kyai Mundzir maupun Ibu Nyai Zuhriyyah senantiasa saling menjaga dan menghormati ke-istiqomahan masing-masing pihak.
Saat menjalani kehidupan rumah tangga, baik beliau yang mashur sebagai 'Abid ( ahli ibadah ) maupun Ibu Nyai sebagai seorang Hafidzhoh ( penghafal Al Quran ) masih tetap mengalankan kebiasaan dan amalan-amalan sebagaimana krtika beliau berdua belum menikah. Tentunya dengan tanpa melalaikan hak dan kewajiban rumah tangga kedua belah pihak.
Seringkali, tatkala beliau selesai sholat dan dzikir, beliau ingin bercengkrama dengan Ibu Nyai Zuhriyyah. Namun begitu melihat Ibu Nyai sedang " nderes " ( muroja'ah hafalan Al-Qur'an nya ), niat itu beliau urungkan dan beliau kembali sholat dan dzikir lagi.
Demikian sebaliknya, tatkala diwaktu senggang Ibu Nyai Zuhriyyah berkeinginan ingin bercengkrama dengan beliau, ternyata beliau masih khusyu' menjalankan sholat dan dzikir sehingga akhirnya Ibu Nyai pun mengurungkan niat tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi hal-hal yang terkadang membuat trenyuh dan terharu bagi siapapun yang mendengar dan meresapinya.
Seringkali beliau berkata kepada Ibu Nyai, " Nyai, apa uang belanjanya masih ?!". Apabila uang belanja memang habis,  Ibu Nyai Zuhriyyah menjawabnya dengan santun dan penuh rasa pengertian, " Uang belanjanya kebetulan habis Yai ?! ". Setelah mendengar jawaban itu, beliaupun kemudian mengajak Ibu Nyai berdoa dengan ucapan lemah lembut, " Ya sudah, mari kita berdoa bersama, saya yang berdoa, Nyai yang mengamininya ".
Tidak berapa lama kemudian, bikaromatillah wa bijuudihi, rezeki pun mengalir mencukupi segala kebutuhan rumah tangga yang penuh berkah ini.
Pernah pula disaat menjelang lebaran, Ibu Nyai sama sekali tidak memiliki uang sepeserpun untuk belanja menyambut hari raya idul fitri. Namun Ibu Nyai pun tidaklah mau mengungkapkan hal ini, hingga beliau ( Kyai Mundzir ) dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, menanyakannya kepada Ibu Nyai Zuhriyyah. Dan selanjutnya, pasangan suami istri yang sabar dan qona'ah itu berdoa bersama. Tidak berapa lama kemudian bi 'aunillah al hamdulillah, rezeki pun mengalir mencukupi segala kebutuhan belanja lebaran saat itu.
Di saat lain, pada suatu ketika, sarung yang dimiliki oleh beliau telah habis dibagikan kepada para santri, tinggal kini yang melekat di badan dan itupun sudah saatnya untuk dicuci. Beliau pun bertanya kepada Ibu Nyai, sekiranya Ibu Nyai memiliki pakaian yang bisa dijadikan sebagai ganti sarung untuk sholat.
Namun ternyata, Ibu Nyai Zuhriyyah pun tidak memiliki apa yang dimaksudkan oleh beliau. Atas dawuh beliau, akhirnya sprei tempat tidur yang digunakan oleh Ibu Nyai, di gunting dan di bagi menjadi tiga, untuk dijadikan sebagai sarung Mbah Kyai Mundzir.
Sungguh suatu pernikahan yang ideal. Dengan dilandasi niat mulia untuk beribadah kepada Alloh dan ketaqwaan, biduk rumah tangga itu dibangun dengan pilar-pilar saling pengertian, mengarungi kehidupan untuk berlabuh di pelabuhan yang hakiki,  yaitu Ridho Alloh robbul 'izzati. 
Sumber :  http://idrushasnialjawi.blogspot.co.id/2015/09/kisah-teladan-mbah-kyai-mmubasyir.html?m=1
http://sujudiyyah.blogspot.co.id/2014/03/kyai-mubasyir-mundzir.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar