Kamis, 03 November 2016

Biografi KH.Munif Djazuli ploso

 Meneladani seorang ulama tak akan ada habisnya. Selalu saja terselip uswah di setiap sudut kehidupannya. Sekecil apapun yang diperbuat, di balik itu semua akan ada hikmah yang dapat dipetik oleh umat. Dan mungkin itulah yang disinyalir dalam hadis Nabi, bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Bukan mewarisi harta, dirham dan dinar, tapi ilmu dan keteladanan.

Sabtu, 15 Oktober 2016

KH. AHMAD DJAZULI UTSMAN

 created by : harun arrosyid

DI AWAL ABAD KE-20, TEPATNYA TANGGAL 16 MEI 1900 DISAAT PENJAJAH MENINDAS BANGSA INDONESIA, TELAH LAHIR SEORANG BAYI YANG DIBERI NAMA MAS'UD. IA LAHIR DARI KALANGAN BANGSAWAN YANG RELEGIUS DARI KELUARGA BESAR RADEN MAS M. UTSMAN SEORANG ONDER DISTRIK (PENGHULU KECAMATAN). SUASANA GEMBIRA MENYAKSIKAN LAHIRNYA BAYI DI DUNIA, DARI WAJAHNYA TERPANCAR NUR ILAHIYAH PERTANDA BAHWA KELAK IA AKAN MENJADI FIGUR YANG DIKAGUMI MASYARAKAT.

Senin, 10 Oktober 2016

Biografi KH hamim dzajuli


KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur.
created by : harun arrosyid 11 oktober 2016

Sabtu, 10 September 2016

BIOGRAFI KH M.ANWAR MANSHUR

Sosok pribadi yang tegas, Istiqomah, dan amanah

Posted By : Harun Arrosyid

 Seorang tokoh lirboyo yang Kharismatik, salah satu penerus tapak tilas perjuangan para tokoh-tokoh pendahulunya
  Kiai 'alim yang menjadi pengasuh pondok pesantren Lirboyo ini mengemban amanat yang cukup berat, untuk bisa mempertahankan nilai pendidikan tradisional yang telah ditanamkan para tokoh sebelumnya seperti kiai Abdul Karim, kiai Marzuqi Dahlan dan kiai Mahrus Aly.

Senin, 05 September 2016

Sejarah Pondok Pesantren Al-falah Ploso

Sejarah Pondok Pesantren Al-falah Ploso



  Posted By : Harun Arrosyid 06 September 2016
Pada 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang.

Jumat, 02 September 2016

Biografi,Karomah dan Kisah Teladan KH Mubasyir Mundzir

KH. Mundzir adalah pengasuh pondok pesantren “Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari” Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur.
Posted By : Harun Arrosyid 02 September 2016
Sebagai Kyai kharismatik atau di segani oleh masyarakat, KH Mundzir mempunyai karomah antara lain :
1.       Si kecil yang perkasa
Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.

Kamis, 01 September 2016

Sejarah berdirinya Pon.Pes Ma’unah Sari

Posted By : Harun Arrosyid 02 September 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari didirikan oleh KH. M. Mubasyir Mundzir atau yang masa mudanya lebih akrab disapa dengan ‘Gus Ib’ karena nama beliau yang asal adalah Ibnu Mundzir, putra KH. M. Imam Bachri, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Mangun Sari Nganjuk. Dan pondok pesantren ini berdiri pada tahun 1963 M.

Selasa, 02 Agustus 2016

Biografi KH Maksum Jauhari





 Posted By : Harun Arrosyid
Sang Pendekar Dari Pasantren Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding. 

Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.

Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.

Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.

Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.

Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).

Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.

Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.

Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa. (NU Online)



Minggu, 31 Juli 2016

Biografi KH. Imam Yahya Mahrus

Pendiri Pon Pes HM Al-mahrusiyah Cabang Lirboyo

Terlahir sebagai seorang pemenangPada tahun 1948 hingga 1949 terjadi sebuah agresi Belanda yang dikenal sebagai “aksi polisional kedua”. Di saat itu, KH. Mahrus Aly menghimbau seluruh santri Lirboyo untuk mengungsi ke beberapa tempat termasuk di bawah kaki gunung Klotok, Mojokudi, sementara Nyai Hj. Zainab diungsikan bersama dzurriyah putri lainnya di kediaman KH. Marzuqi Dahlan. Selang beberapa saat setelah santri-santri kembali ke Lirboyo, lahirlah seorang bayi mungil dari rahim Nyai Hj. Zainab yang diberi nama Imam Yahya. Beliau lahir bak seorang pemenang di saat suasana genting menyelimuti langit Kediri. Memang belum jelas tentang kepastian tanggal dilahirkannya Imam Yahya. Namun menurut Agus Reza (putra pertama Kiai Imam Yahya), dari surat-surat yang ada, tertera beliau lahir pada 01 Agustus 1949. KH. Mahrus (ayahanda Kiai Imam) memberi nama Imam Yahya yang diambil dari nama pemimpin Yaman tahun 40-an, Imam Yahya yang berjuluk Amir al-Muslimin, seorang ahli politik, strategi dan ilmu alat (Nahwu-Sharaf). Tentu, harapannya kelak Imam Yahya menjadi sosok seperti Imam Yahya, Sang Amir al-Muslimin.

Posted By : Harun Arrosyid 01 Agustus 2016

Masa kecil dan pendidikan keluarga Kiai Imam Yahya lahir di tengah-tengah keluarga pesantren. Paman, kakek serta ayahandanya merupakan ulama-ulama besar, sehingga kehadiran beliau adalah harapan besar bagi perkembangan dunia pesantren. Di masa kecilnya, Kiai Imam mendapat pengawasan penuh dari KH. Mahrus Aly dan Ibunda Nyai Zainab. Tempaan ilmu agama terus ditanamkan oleh KH. Marus Aly dalam kepribadian Kiai Imam. Setiap malam Kiai Imam sorogan al-Qur’an kepada ayahandanya. Tak jarang, dengan nada tegas KH. Mahrus Aly membenarkan pelafalan makhraj Kiai Imam, “Kalau Hamzah itu harus mangap (membuka mulut) sembari mengepalkan tangan beliau ke mulut kiai Imam. Pernah juga suatu ketiak saat jalan-jalan bersama sang ayah, Kiai Imam melihat buruh angkut lalu sang ayah berkata “Lihatlah kepada orang-orang itu yang kerjaannya mengangkut barang-barang, cobal kalau mereka memiliki ilmu yang tinggi maka mereka pasti akan memiliki profesi yang lebih layak”, dengan maksud agar Kiai Imam lebih bersemangat dalam menimba ilmunya. Demikianlah KH. Mahrus Aly terus mendidik putranya agar menjadi sosok yang disiplin, tegas, berani serta memiliki motivasi tinggi dalam belajar.

Bisikan menuju Sarang.Ketika mulai menginjak usia 20-an, Kiai Imam sering diajak KH. Mahrus Aly untuk “nderekaken” (mengikuti) ke manapun beliau pergi. Sekitar tahun 1968, dalam sebuah perjalanan di derah Trowulan, Mojokerto, tepat di depan sebuah lokasi –yang konon- bekas petilasan kerajaan Majapahit, Kiai Imam mendengar suara orang tak dikenal, entah dari mana asalnya, “Awakmu sesuk mangkato mondok neng Sarang, ojo ngomong sopo-sopo, sangu sak cukupe, ojo kondo sopo-sopo” (Besok, berangkatlah nyantri ke Sarang, jangan bilang siapa-siapa, bawalah bekal secukupnya, jangan bilang siapa-siapa).
Keesokan harinya beliau langsung berangkat ke Sarang dengan membawa bekal 25 perak, yang dikira oleh ibu serta pamannya, Kiai Imam kabur dari rumah dan menjalani profesi sopir atau kernet seperti yang pernah dilakukannya. KH. Marzuqi Dahlan prihatin atas kaburnya Kiai Imam. Keluarga sangat panik dan khawatir tentang keberadaan Kiai Imam. Usaha pencarin untuk menemukan keberadaan beliau dilakukan ke berbagai penjuru tanah Jawa sampai Jakarta. Setelah tiga bulan tidak ditemukan, kabarpun datang, bahwa Kiai Imam sudah mondok di Sarang.
Awal perjalanan Kiai Imam menimba ilmu di Sarang, beliau bertemu dengan KH. Zubair (ayahanda KH. Maimun Zubair). Anehya, Kiai Imam malah langsung disuruh menemui dan ikut KH. Maimun. Padahal Kiai Imam bermaksud nyantri kepada KH. Zubair. Akhirnya Kiai Imam diterima sebagai santri pertama KH. Maimun Zubair.
Beberapa bulan di Sarang, Kiai Imam belum mengikuti salah satu pengajian yang diadakan di pondok. Keadaan demikian membuat beliau gusar dan malu kepada Kiai Maimun. Kemudian beliau memutuskan untuk mengikuti ngaji di kelas 5, setelah dua minggu beliau tidak betah karena tidak paham dengan pelajaran kelas 5. Tapi anehnya, beliau malah mau pindah naik ke kelas 6. Baru 2 minggu juga Kiai Imam tidak betah di kelas 6 dan mau naik ke kelas 1 Tsanawi, begitu seterusnya samapi kelas 3. Setiap kelas yang Kiai Imam ikuti pengajiannya, tidak lebih dari satu bulan. Setelah tamat dari tsanawiyah, Kiai Imam diajak ngaji kitab Nashaih al-Ibad oleh Kiai Maimun hingga khatam. Kitab lain yang pernah dikhatamkan bersama beliau adalah Alfiyah ibn Malik, Syarh Ibn Aqil, dsb.
Menurut KH. Abdullah Ubab (putra KH. Maimun), Kiai Imam juga pernah ngaji di hadapan Kiai Zubair kira-kira setahun. Kiai Imam pernah mengakui, “Aku seneng ngaji bahkan aku iso ngaji ya di sini”. Menurut Kiai Ubab, Kiai Imam dalam memuliakan Kiai Maimun sangat luar biasa, juga kepada keluarga kiai, guru-gurunya bahkan orang kampung sekitar pondok, ia pandai mencari perhatian orang-orang di sekitanya, seolah menjadi bakat dan pertanda beliau akan menjadi ulama yang merakyat.
Menuntut ilmu di Makkah dan MadinahUntuk menambah wawasan, KH. Mahrus Aly memerintahkan Kiai Imam agar melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Tepat tahun 1974, Kiai Imam berangkat menuntut ilmu ke Saudi Arabia bersaman dengan sang ayah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun di Makkah, kemudian beliau belajar di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah. Beliau banyak belajar dari para ulama terkemuka di sana, di antaranya Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh Yasin al-Padani, Dr. Muhammad Abduh al-Yamani, dsb. Berbagai macam ajaran dari berbagai aliran agama Islam telah beliau pelajari sehingga wawasan tentang aliran hingga perbedaan pendapat dalam ulama Islam semakin luas. Meski demikian, doktrin pesantren tak membuat Kiai Imam bergeser dari paham aswaja. Mungkin dengan nuansa pembelajaran seperti itulah, sikap beliau semasa hidup selalu mengedepankan tasamuh atau toleransi ketika berinteraksi dengan siapa saja, dari kalangan apa saja, bahkan dengan komunitas non muslim sekalipun.
Tahun 1979, di Saudi Arabia terjadi gerakan teror dari komunitas oposisi yang disebut dengan “Hawadits Juhaiman”. Ketika itu Kiai Imam ingin melihat baku hantam antara dua kubu yang berseteru. Saat mengangkat kepala untuk melihat dari kajauhan, tanpa diduga peluru panas melesat dan mengenai pelipis mata sebelah kiri. Kiai Imam langsung dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan operasi, dan Alhamdulillah Kiai Imam terselamatkan walaupun sempat beredar berita kepada keluarga melalui media cetak bahwa Kiai Imam meninggal dunia.
Menikah dengan putri mursyid thariqatWaktu terus bergulir, tiba saatnya di mana kiai Imam menikah. Beliau dijodohkan dengan Ning Zakiyah Miskiyah, putri KH. Muhammad Utsamn al-Ishaqi (Mursyid Thaqirat al-Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah Surabaya). Beliau menikah di saat Kiai Imam libur kuliah pada tahun 1978. Sebenarnya waktu itu beliau masih dalam tahap belajar di bangku kuliah Universitas Islam Madinah. Setelah sebulan menikah, Ibu Nyai Zakiyyah ditinggal selama satu tahun oleh Kiai Imam untuk melanjutkan kembali studinya di Madinah. Pada tahun 1979 sang ayah meminta Kiai Imam pulang ke Indonesia setelah dirasa luka tembak di pelipis sembuh. Mulailah Kiai Imam menahkodai rumah tangga dengan Ning Zakiyah di sebuah rumah kecil yang sederhana dengan satu kamar. Tak ada rasa keluh kesal dari keduanya, hingga pernikahan ini melahirkan enam keturunan, 4 anak laki-laki (Gus Reza, Gus Iing, Gus Nabil, Gus Izzul) dan 2 anak putri (Ning Etna, Neng Ochi). Kiai Imam adalah sosok yang disegani oleh keluarga, Beliau terkenal tegas dalam mendidik, walaupun kepada putra-putrinya sendiri. Di balik ketegasannya, Kiai Imam memiliki sifat adil dan bijaksana, beliau tak membedakan putra-putrinya dalam segala hal bahkan uang saku.
Mendirikan kamar-kamar untuk “teman mukim”Pada tahun 1985, KH. Mahrus Aly wafat. Semenjak itu, Kiai Imam melaksanakan amanat dan wasiat sang ayah, termasuk mendidik santri, beliau memulainya dengan membantu mengurusi pondok HMC dan mengembangkan perguruan Tinggi Universitas Islam Tribakti (UIT). Kiai Imam bersama keluarga menempati sebuah rumah yang memang sudah mulai dibangun semasa hidup sang ayah.
Ndalem timur merupakan awal mula Kiai Imam memiliki santri. Awal mulanya hanya empat santri, namun sedikit demi sedikit para santri berdatangan untuk bermukim. Waktu itu, beliau belum berniat mendirikan pesntren. Kiai Imam hanya berniat menjadikan santri-santri sebagai teman mukim, dan membangunkan kamar-kamar untuk mereka. Hingga akhirnya –dengan segala pengorbanan- wasiat sang ayah untuk membeli tanah di depan dan di utara rumah beliau laksanakan untuk dibangun sebuah asrama yang sekarang menjadi gedung Hidayatul Mubatadi’in Putra, gedung MA dan MTs HM Tribakti serta SMK al-Mahrusiyah. Awalnya, di tahun 1988, pesantren tersebut diberi nama Ibnu Rusyd diambil dari nama kecil Kiai Mahrus, kemudian berubah menjadi HM. Putra dan berganti lagi menjadi al-Mahrusiyah (hingga sekarang).
Dalam kepengasuhannya, Kiai Imam sangat dekat dengan santri, tak heran bila semua santri akan merasa sebagai anak kandung ketika berhadapan/berinteraksi dengan beliau. Kiai Imam membimbing santri dengan penuh keikhlasan dan ketekunan. Beliau memimpin kegiatan sorogan kitab kuning pukul 21.00. Beliau akan bertindak tegas pada siapapun yang terlihat loyo atau kurang bersemangat dalam mengaji. Untuk menempa spiritual para santri, menjelang 02.00 dini hari, beliau juga selalu membangunkan santri untuk melakukan qiyam al-lail dan istighatsah. Cara Kiai Imam mendidik santri adalah dengan member contoh terlebih dahulu barulah santri dituntut mandiri setelahnya seperti salat jamaah, istighatsah, tahlil, dsb. Berkat ketekunan dan ketegasan Kiai Imam, al-Mahrusiyah sekarang mempunyai tiga cabang dengan berbagai macam unit pendidikan, baik formal maupun non formal.
Kiprah di dunia akademikSepeninggal Kiai Mahrus Aly, Kiai Imam mendapatkan amanat untuk mengembangkan perguruan tinggi yang telah dirintis sang ayah sejak 1966 yaitu Universitas Islam Tribakti yang sekarang menjadi Institut Agama Islam Tribakti (IAIT). Saat menjabat rektor, Tribakti hanya memiliki tidak lebih dari dua gedung dengan beberapa ruang dan mahasiswa.
Untuk mengembangkan Tribakti, beliau sangat aktif membuka koneksi denan pihak luar, inilah keistimewaan Kiai Imam. Beliau mampu berinteraksi dengan dunia pesantren dan dunia akademisi. Ketika di pondok, belia tak ubahnya kiai yang utun dalam mendidik santri. Ketika di kampus, beliau layaknya seorang intelek, sering mengisi kegiatan seminar, workshop, diskusi, pelatihan, sarasehan, dll. Di luar itu, beliau juga sibuk dalam kepengurusan RMI Jawa Timur, hingga tak jarang beliau sering terjun ke beberapa pesantren untuk berkonsolidasi. Maka dalam kehidupannya, Kiai Imam selalu mempertimbangkan aspek agama dan sosial. Di tangan Kiai Imam, Tribakti di sekitar tahun 1986 berkembang pesat dengan tambahan beberapa sarana prasarana dan fakultas yang awalnya hanya ada Tarbiyah dan Syari’ah, sebut saja fakultas Dakwah, Ekonomi, Hukum, Bahasa dan Pertanian.
Menghadap Sang KhaliqPada tahun 2004, Kiai Imam divonis oleh dokter mengidap diabetes tinggi, meski demikian aktifitas selalu dijalani dengan tabah. Hingga awal tahun 2011, kondisi beliau semakin drop dan dilarikan ke RS. Gambiran Kediri. Kemudian dokter menyarankan agar Kiai Imam dilarikan ke Graha Amerta Surabaya. Beliau terkena kanker paru-paru yang telah menjalar ke saluran pernafasan. Semenjak itu, beliau sering keluar masuk rumah sakit. Berbagai macam cara pengobatan ditempuh termasuk cara tradisional Shin Sei hingga penyakitnya berangsur-angsur pulih. Melihat kondisi yang semakin membaik, beliau kembali aktif dalam berbagai kegiatan, mengurusi pondok, kampus serta menemui tamu setiap harinya hingga kondisi kesehatan terlalaikan.
Menjelang akhir 2011, penyakit kanker beliau kambuh dan bertambah parah. Beliau meminta untuk dirujuk ke RS. Graha Amerta Surabaya. Sehari sebelum ke RS, beliau menyempatkan untuk mengunjungi lahan perluasan pondok di ds. Ngampel, Mojoroto. Setelah mengukur sepetak tanah, beliau bilang kepada mandor tukang “ini tempat kuburan saya”. Dan benar, setelah dirawat di Surabaya, tanggal 14 januari 2012 beliau dipanggil oleh Allah SWT. Mulanya beliau merasa kesakitan di bagian perut hingga sang istri mengeroki punggung beliau karena dirasa masuk angin. Beliau berencana untuk pulang ke Lirboyo tercinta, sesaat kemudian beliau pamit untuk tidur, akan tetapi beliau tertidur untuk selamanya.
Sumber : http://majalahlangitan.com/kh-imam-yahya-mahrus-supel-dalam-bergaul-tegas-dalam-mendidik/

Biografi KH Marzuqi Dahlan

Posted By Harun Arrosyid 31 juli 2016

KH. Marzuqi Dahlan lahir tahun 1906 M, di Desa Banjarmelati, sebuah desa di bantaran barat Sungai Brantas, Kota Kediri. Beliau putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Dibawah pengawasan langsung kakeknya (KH. Sholeh Banjarmelati) Gus Zuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh, ubudiyah, dll. Pernah satu waktu, sang ayah (Kiai Dahlan) meminta agar Gus Zuqi kembali ke kampung halaman (Pondok Pesantren Jampes) guna menuntut ilmu langsung di bawah asuhan ayah kandung sendiri. Gus Zuqi bersedia, namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi kembali ke Banjarmelati.
Ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu di Lirboyo, dibawah asuhan KH. Abdul Karim yang merupakan paman Gus Zuqi. Disinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat menyerap berbagai ilmu keagamaan. Usai dari di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraan di pelbagai pondok pesantren, diantaranya; Pondok Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, asuhan KH. Zainuddin, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kiai Khozin, cukup lama beliau mondok di Pare hingga berusia 20-an tahun. Selanjutnya beliau kembali ke kampung halaman untuk belajar langsung ke KH. Ihsan Al-Jampasy, sang kakak yang juga pengarang kitab Shirojut Tholibin. Sebuah kitab monumental dalam bidang tasawuf.
KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH Abdul Karim dan berdomisili di Lirboyo tahun 1936 M. Meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur, hal ini merupakan salah satu amanat yang disampaikan KH Abdul Karim kepada beliau, sesaat usai aqad nikah berlangsung, hingga himmah beliau untuk tetap mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah.
Pada tahun 1961 M, Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam.
Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Ketika bepergian dan atau berziarah ke makam-makam Auila’ disekitar Kediri, KH Marzuqi Dahlan lebih sering bersepeda. Bukan hanya kendaraan, kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 M barulah kediaman beliau berganti dengan tembok.
Pada Tahun 1973 M KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, sebab usia beliau memang sudah sepuh. Namun meski demikian, semangat beliau untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan Syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit dan harus dirawat di RS. Bhayangkara, Kediri. Dua minggu lamanya beliau dirawat. Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 M beliau dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya. (al Fatihah…)
 Sumber :  https://lirboyo.net/kh-marzuqi-dahlan-1906-1975/

Jumat, 29 Juli 2016

BiografiI KH. Mahrus Aly

Posted By : Harun Arrosyid 29 juli 2016
Beliau lahir pada tahun 1906 di dusun Gedongan kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon Jawa Barat, ayah beliau KH Aly bin Abdul Aziz dan ibu beliau Hasinah binti Kyai Sa’id, KH. Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi, masa kecil beliau lebih banyak dijalani di tanah kelahirannya, sifat kepemimpinan beliau sudah nampak pada saat masih kecil, hingga beranjak remaja, sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarganya, disinilah beliau diasuh oleh ayahnya sendiri KH Aly dan kakak Kandungnya Kyai Afifi. Pada saat beliau berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmunya di Pesantren Panggung Tegal, asuhan Kyai Mukhlas Kakak iparnya sendiri, disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni, selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya seorang jawara pencak silat asal Tegal Gubug Cirebon. Pada saat monok di tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927, selanjutnya KH. Mahrus Aly meneruskan pencarian ilmunya di Pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah yang diasuh KH. Kholil, setelah 5 tahun menuntut ilmu dipesantren ini atau sekitar tahun 1936 KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni sehingga KH. Mahrus Aly tinggal mempedalam dan tabaruqan saja, bahkan beliau diangkat menjadi Pengurus Pondok. Selama nyantri di Lirboyo beliau dikenal sebagai satri yang tak pernah letih mengaji, jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabaruqan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. PP. Watu congol muntilan Magelang, asuhan Kyai Dalhar. Juga pondok pesantren Langitan tuban, Sarang dan Lasem Rembang.

Sebenarnya KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidaklah lama, hanya sekitar tiga tahun saja, namun karena kealimannya membuat KH. Abdul Karim menjadi jatuh hati, dan menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab. Tepatnya pada tahun 1938. kemudian pada tahun 1944 KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman disebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, ditangan mereka berdualah kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo, banyak santri yang berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti), peran serta KH. Mahrus Aly dalam usaha membangkitkan kemerdekaan juga tidak bisa diremehkan, hal ini disebabkan peran beliau dalam mengirimkan 97 santri pilihan dari pondok pesantren Lirboyo untuk menumpas sekutu di Surabaya, yang belakangan ini dikenal dengan peristiwa 10 November, hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di daerah kediri dan juga mempunyai andil yang besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlotul Ulama’, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985

Duka menggelayut Pondok Pesantren Lirboyo tepatnya pada hari senin tanggal 04 Maret 1985, sang istri tercinta Ibu Nyai Hj. Zaenab berpulang kerahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama nyai derita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan, hingga banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri akhirnya beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya dengan menggunakan Helikopter atas perintah Pangab LB. Moerdani, manusia berusaha namun Allah Jualah yang menentukan, meskipun pelbagai upaya medis paling canggih sekalipun telah diupayakan oleh tim dokter yang terbaik di RS Dr. Soetomo surabaya, akhirnya KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di surabaya. Berita meninggalnya KH. Mahrus Aly membuat duka yang sangat mendalam bagi keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo, karena mereka semua telah kehilangan panutan yang selama ini mereka idolakan dan mereka bangga-bangakan. Beliau wafat diusia 78 tahun.

Rabu, 27 Juli 2016

Biografi KH Abdul Karim Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo


Posted By : Harun arrosyid 27 juli 2016
Abdul Karim dilahirkan di Dukuh Banar Desa Diangan Kawedanan M
ertoyudan Kabupaten Magelang pada tahun 1856. Nama kecilnya Manab. Ia putra ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Rahim. Ibunya bernama Salamah. Ayah Abdul Karim adalah seorang petani sederhana. Kadangkala, saat hasil pertanian tida mencukupi untuk kebutuhan keluarga, ayahnya serin berdagang ke kota Muntilan. Saat Manab masih belia, ayahnya meninggal dunia. Karena keterbatasan ekonomi, akhirnya ib Manab menikah lagi dan melahirkan tiga orang anak. Kondisi ekonomi semakin melemah, hingg menuntut Manab harus hidup mandiri. Ia bertekad haru bisa berdiri tegak dengan kaki sendiri. Ia tak ma merepotkan orang lam.

Dalam kondisi demikian, Manab kecil untuk menuntut ilmu semakin besar. I ingin mengikuti jejak kedua kakaknya, Aliman da Mu'min yang belajar di pesantren. Kedua kakakny adalah seorang pengembara ilmu yang ulet. Sebagai kakak, Aliman sangat mengetahui isi ha adiknya yang ingin belajar agama. Akhirnya, saat Alima pulang ke Magelang dari pesantren Jawa Timur. I kemudian mengajak Manab untuk be Eaj ar di Jawa Timur Saat itu usia Manab baru 14 tahun. Pada tahun 1870, Mana.' berangkat untuk menuntut ihnu di Jawa Timur. Mereka berdua harus berjalan puluhan kilometer. Akhirnya, sampailah mereka di sebuah dusun bernama Babadan Gurah Kediri. Di Kediri, mereka menemukan sebuah mushala kecil dan berguru kepada seorang kiai tentang genyam pendidikan agama. Setelah men Manab kemudian melanjutkan belajar agamanva di an agama di Kediri, Pesantren Cepogo Nganjuk.

Di Pesantren ini, Manab tidak hanya mengaji tapi juga bekerja. Manab belajar 6 tahun di pesantren ini, dirasa sudah cukup, ia kemudian pindah lagi di Pesantren Trayang Bangsri Kertosono. Tak puas sampai di situ, Manab pun melanj utkan studinya di Pesantren Sono Sidoarjo. Pesantren ini terkenal dengan ilmu nahwu dan sharafnya. Di pondok ini, Manab bisa lebih konsentrasi belajar, karena ia dibiayai oleh kakaknya, Aliman. Karena kakaknya mengetahui kecerdasan dan keuletan Manab, kakaknya merasa sayang jika belajarnya harus terganggu. Di pesantren ini, Manab bertahan sampai 7 tahun. Di pesantren Sono Sidoarjo, Manab banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf. Kitab kuning Alfiyyah Ibnu Malik dapat dikusainya dengan baik.

Setelah belajar dari pesantren ini, kemudian ia melanjutkan belajar agamanya kepada KH. Khalil Bangkalan. Beliau adalah guru para pemimpin Islam, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasbullah, dan kiai-kiai terkenal lainya. Di Pondok asuhan KH. Khalil ini, Manab menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar dan bekerja. Karena ia sudah tak dibiayai kakaknya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dirinya harus memetik daun Pace dt sekitar pondok. Bahkan, Manab seringkali makan sisa makanan teman-temannya. Ia juga sering makan ampas kelapa. Sebelum belajar kepada KH. Khalil Bangkalan, Manab belajar di pesantren Kedungporo Sepanjang Surabaya. Kemudian baru menyeberang ke Bangkalan Madura.
Pendidikan KH Abdul Karim
Manab terkenal sangat haus ilmu. Karena kecintaannya pada ilmu yang mendalam, Manab rela berjalan kaki dari Magelang ke Bangkalan. Suatu saat, ia pulang ke Magelang. Setelah beberapa hari Manab tinggal di rumah, akhirnya ia hendak kembali ke Bangkalan. Ibunya kemudian membekali Manab uang lima rupiah untuk naik kereta. Karena saat itu ia butuh kitab Minhajul Qawim dan Ibnu Aqil, akhirnya ia rela berjalan ratusan kilometer dari Magelang ke Bangkalan Madura. Itu dilakukan katena uangnya ingin dibelikan kitab. Kadang kala, untuk mendapatkan kitab yang baru (yang belum dibaca), Manab biasanya tukar-menukar kitab dengan temannya. Seringkali pula, Manab harus menjual kitab yang sudah dibacanya dan uangnya dibelikan kitab yang baru. Tak terasa Manab telah menimba ilmu agama di Bangkalan selama 23 tahun. Tak pelak, ilmu Manab sangat mendalam, wawasannya pun juga luas.

Akhirnya, suatu hari KH. Khalil berkata pada Manab, "Nab, Baliyo ilmuloswis entek," (Nab Pulanglah ilmuku sudah habis). Karena gurunya berkata demikian, Manab pun meninggalkan Bangkalan,, meskipun sesungguhnya ia masih ingin belajar di Bangkalan. Ketika dalam perjalanan, Manab ingat kalau sahabatnya, KH. Hasyi mendirikan Pesantren di Tebuireng. Akhirnya, Manab pun belajar lagi kepada pen NU, KH. Hasyim Asy'ari sampafumur 50 tahun. Karena terlalu cintanya yang mendalam kepada ilmu, ia lupa untuk ment Manab menikah saat usianya 50 tahun. Sedangkan istTinya bemama Khadijah binti Shaleh berumur 15 tahun. Pernikahan itu diadakan pada tahun 1908. Pada ta berikutnya lahir putrinya yang pertarna bernama Hannah.


Sumber : http://tokohnesia.blogspot.co.id/2015/06/biografi-kh-abdul-karim.html

Senin, 25 Juli 2016

Sejarah Singkat Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri

Kediri mendapat julukan "kota santri", karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang kini telah berusia satu abad lebih.

Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan

menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan  alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.  Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.


PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA

Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan  rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .

Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada

sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura  untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya.

Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.

Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh.  Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.

*Sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=37